Penulis : Rifatul Farida
Di sore Jakarta,
melihat para pemulung dan pencari kardus bekas dengan gerobaknya, lusuh. Mereka
kembali pulang.
Ada
jiwa pahlawan kudapati pada sosok lusuh mereka. Mungkin pahlawan untuk anak
usia enam tahun yang menjadi buah cintanya dengan seorang wanita sederhana. Dan
tentu saja pahlawan untuk sang wanita tercinta yang telah
"memberikannya" seorang anak lucu namun harus ikut berjibaku, bertahan
hidup, mengais rupiah demi rupiah di barang-barang rongsokan yang bagi sebagian
kita menjijikan untuk di pungut kembali.
Mereka, adalah pahlawan yang telah mendapatkan tempatnya
sendiri. Yang tak perlu tanda jasa, tak perlu pengakuan, pun tak perlu
eksploitasi. Mereka adalah pahlawan bagi anak dan isterinya.
Sedang tidak ingin menggugat rasa ketidakadilan, namun
sungguh keterlaluan bagi sebagian kita yang masih bisa hidup bermegah-megah,
berboros ria, dengan pemandangan di sekitar kita yang begitu gamblang memprihatinkan.
Bisakah sejenak saja kita pikirkan bagaimana sepuluh tahun
ke depan untuk anak usia enam tahun itu? Yang seharusnya saat ini sedang
bernyanyi riang dengan lagu "Taman kami
yang sangat indah, tempat bermain dan belajar, taman kanak-kanak...".
Jangan salahkan orangtuanya jika kemudian di masa remajanya
ia menjadi pencopet, preman jalanan, dan banyak lagi istilah yang bermakna
sampah masyarakat, tanpa tahu batasan halal dan haram, karena sedari kecil tak
pernah mendapatkan pelajaran moral. Jangan salahkan ia jika di usia baligh tak
tahu adab, etika, dan sopan santun. Karena baginya hidup bukanlah soal haram
halal, hidup bukanlah soal kesopanan, hidup bukanlah soal keluwesan apalagi
keindahan. Tapi baginya, hidup adalah bagaimana mendapatkan rupiah. Hidup
adalah bagaimana tetap bernafas dan hidup.
Mereka, membutuhkan kita untuk berubah. Mereka membutuhkan
kita untuk menjadi lebih baik dari keadaan sekarang. Mereka membutuhkan
tangan-tangan suci untuk menyucikan jiwanya, dan tangan itu bukan tangan mereka.
Tapi tangan dari para manusia yang selalu terbasahi dengan air wudhu, tangan
yang tergerakkan oleh jiwa yang mampu menjangkau lingkaran luar dari dalam
dirinya.
Sungguh, kelak akan datang suatu masa ketika semua anggota
tubuh menjadi saksi. Lesatan pertanyaan yang mungkin tak pernah kita duga; Apa
yang sudah kita lakukan untuk mereka, atas nama tanggung jawab ukhuwah? Lalu,
jawaban apa yang kita punya? Sementara gundukan egoisme begitu angkuh membatasi
kita, dan akan semakin menjulang tinggi jika tak sedari sekarang juga kita
seriusi untuk menghentikannya.
Mereka, saudara kita juga, yang menjadi bagian dari
kehidupan kita. Yang hubungan persaudaraan itu dengan indah Nabi SAW
mengibaratkan layaknya satu tubuh; jika bagian yang ini sakit, maka bagian yang
lain ikut pula merasakannya.
Astaghfirrullahal'adzim.... 
 
 
