Tak bisa dipungkiri, Tuhan Maha Segalanya. Segala yang Dia
ciptakan adalah Maha Karya yang tak ada bandingannya. Salah satunya adalah
manusia. Manusia dikaruniai akal budi yang sempurna untuk dipergunakan dengan
sebaik-baiknya menjalani kehidupan di dunia ini. Akal budi manusia tak lepas
dari otak dan jiwa dari manusia itu sendiri. Dengan jiwa dan otak banyak hal
yang bisa manusia lakukan, dari hal yang paling baik hingga yang paling buruk
semua bersumber dari otak. Seseorang sanggup membuat berbagai ide cemerlang dan
improvisasi timbul dari sana ,
dan itupun tak lepas dari jiwanya.
Jiwa adalah sumber
kekuatan semua manusia di dunia ini. Manusia yang jiwanya lemah akan tampil
sebagai sosok yang lemah pula. Namun, manusia yang berjiwa kuat akan tampil
sebagai sosok yang kuat pula. Ini bukan berarti sekadar dalam arti fisik,
melainkan kekuatan pribadinya dalam menghadapi berbagai badai kehidupan yang
tak bisa diprediksi sebelumnya. Coba Sampean lihat teman, keluarga ataupun
tetangga Sampean. Jika Sampean bisa merasakan setiap orang pasti memiliki
kekuatan jiwa yang berbeda-beda. Mengapa demikian, bukankah kita sama-sama
dikaruniai jiwa oleh yang Maha Kuasa? Tuhan sudah memberikan sesuatu yang
berharga, baik tidaknya, kuat lemahnya tergantung kita sendiri bagaimana
memberdayakannya.
Orang yang mempunyai
jiwa kuat bukan hanya berpengaruh pada keteguhan pribadinya, melainkan bisa
digunakan untuk mempengaruhi orang lain dan bahkan benda-benda mati di
sekitarnya. Pernah lihat orang yang dihipnotis bukan? Percaya nggak percaya
begitulah adanya. Sampean bisa melihat betapa besarnya kekuatan yang ditebarkan
oleh Bung Karn Prsiden RI yang pertama dengan pidatonya. Ia bisa
mempengaruhi ribuan orang hanya dengan kata-katanya. Ribuan orang terpesona dan
rela berpanas-panas, berdesak-desakan, berjuang dan berkorban mengikuti yang beliau
sampaikan pada pidato tersebut.
Sampean juga bisa
merasakan betapa hebatnya kekuatan yang digetarkan oleh Mozart Beethoven lewat
karya-karya musiknya. Berpuluh tahun karya mereka dimainkan dan mempesonakan
banyak musikus dan penikmat musik di seluruh dunia. Atau lebih dahsyat lagi
adalah kekuatan yang terpancar dari jiwa para Nabi. Keteladanan dan risalah
yang beliau bawa telah mampu mengubah kehidupan hampir di seluruh dunia. Dan
hingga sampai sekarang terus berkembang.
Bagaimana hal itu
bisa terjadi? Dan dari mana serta dengan cara apa kekuatan yang demikian
dahsyat itu terpancar? Semua itu tak lepas dari kekuatan jiwa yang terpancar
dari seseorang. Dengan mekanisme otak sebagai pintu keluar masuknya.
Mempelajari aktivitas
otak berarti juga mempelajari aktivitas jiwa. Mangapa demikian? Karena seperti
yang telah kita bahas di atas. Jiwa adalah program-program istimewa yang
dimasukkan ke dalam sel-sel otak. Dan program-program itu lantas berkolaborasi
membentuk suatu sistem di dalam organ otak. Oleh karena itu, setiap apa yang
dihasilkan otak adalah pancaran dari aktivitas jiwa kita.
Memahami pancaran jiwa
Lalu, bagaimana
memahaminya? Banyak cara. Di antaranya dengan memahami produk-produk otak
sebagai organ pemikir. Jika kita membaca karya seseorang baik berupa karya
tulis, musik, pidato, atau karya-karya seni dan ilmu pengetahuan lainnya, kita
sedang memahami jiwa seseorang.
Di dalam sebuah karya
tersebut pasti terkandung sebuah energi/kekuatan yang tersimpan di dalam
maknanya. Untuk bisa merasakan kekuatan tersebut tentu kita harus menggunakan
panca indera terhadap suatu karya, namun hati atau jiwa kita tidak ikut dalam
proses pemahaman itu, tentu kita tidak bisa merasakan besarnya energi/kekuatan
yang terpancar. Karya itu tidak lebih hanya sebagai seonggok benda mati. Tapi
begitu kita melibatkan hati dan jiwa, tiba-tiba karya itu menjadi lebih hidup dan
bermakna.
Yang demikian itu
bisa terjadi pada pemahaman apa saja. Setiap kita ingin menangkap makna, maka
kita harus melibatkan hati dan jiwa. Hati adalah sensor penerima getaran
universal di dalam diri seseorang. Ada
yang menyebutnya sebagai indera ke-enam.
Kombinasi antara
panca indera dan hati akan menyebabkan kita bisa melakukan pemahaman. Tetapi
semua sinyalnya tetap dikirim ke otak sebagai pusat pemahaman atas informasi
panca indera dan hati tersebut. Di situlah jiwa bekerja sebagai mekanisme kompleks
dari seluruh rangkaian sofware yang ada di sel-sel otak.
Jadi, otak
memancarkan gelombang energi yang tersimpan di dalam maknanya. Makna itu
sendiri sebenarnya bukanlah energi, meskipun ia mengandung energi. Makna juga
bukan materi. Makna adalah makna alias informasi.
Selama ini kita
memahami eksistensi alam semesta hanya tersusun dari 4 variable, yaitu ruang,
waktu, materi dan energi. Sebenarnya informasi adalah variable ke-5 yang urut
menyusun alam semesta. Para pakar fisika tidak
memasukkan informasi sebagai salah satu variable penyusun alam karena
pengukuran informasi itu tidak dapat dilakukan oleh alat ukur material seperti
mengukur ruang, waktu energi dan materi. Makna atau informasi hanya bisa diukur
oleh perasaan makhluk hidup.
Tetapi seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi kini bisa diukur secara
lebih kuantitatif bukan hanya kualitatif. Nah, variable ke-5 inilah banyak
berperan ketika kita membicarakan makhluk hidup. Khususnya yang berkaitan
dengan jiwa dan ruh. Sebab ukuran-ukuran yang bisa kita kenakan pada aktivitas
jiwa dan ruh itu bukan hanya sebatas ukuran ruang, waktu, energi dan materi,
melainkan ukuran informasi alias makna. dan itu belum terwadahi oleh 4 variable
tersebut.
Sebenarnya, makna itu memiliki arti yang jauh lebih mendalam
di bandingkan sekedar informasi. Meskipun tidak bisa diukur secara langsung
sebagaimana mengukur kuantitas ruang, waktu, energi dan materi. tetapi
informasi dan makna itu bisa bermanifestasi ke dalamnya. Informasi dan makna menjelajah
ke seluruh dimensi tersebut.
Misalnya saja: rasa bahagia bisa terpancar di wajah
seseorang (dalam bentuk materi dan energi), dalam kurun waktu tertentu di suatu
tempat (menempati ruang dan waktu). Informasi tersebut juga bisa ditransfer
kepada orang lain, sehingga memunculkan energi tertentu. Jika Sampean sedang
merasa gembira, kemudian menceritakan kegembiraan itu kepada orang dekat Sampean,
maka orang tersebut akan merasa ikut gembira. Dan ketika ia ikut merasa
gembira, dia sebenarnya telah menerima energi kegembiraan itu dari Sampean. Dia
tiba-tiba terdorong untuk tertawa atau bahkan menangis gembira.
Dalam bentuk apakah energi kegembiraan itu terpancar ke
orang dekat Sampean? Apakah suara Sampean yang keras dan menggetarkan gendang
telinganya itu menyebabkan dia tertawa? Pastilah bukan. Apakah juga karena
suara Sampean yang mengalun merdu, sehingga ia ikut gembira? Juga bukan.
Penyebabnya adalah karena isi alias makna cerita Sampean tersebut.
Dan uniknya, energi yang tersimpan di dalam makna itu tidak
bisa diukur besarnya secara statis, seperti mengukur waktu, atau energi panas.
Energi informasi itu besarnya bisa berubah-ubah bergantung kepada si penerima
itu sendiri. Jika si penerima berita demikian antusias dalam menanggapi berita
gembira itu, maka dia akan menerima energi yang lebih besar lagi. Mungkin dia
bisa tertawa sambil berurai air mata gembira, berjingkrak dan sebagainya.
Padahal bagi orang lain berita yang sama belum tentu menimbulkan energi yang
sehebat itu pula.
Jadi kekuatan energi informasi terletak pada kualitas
interkasi antara sumber informasi, penerima dan makna yang terkandung di
dalamnya. Dan semua itu berlangsung dengan sangat dinamis. Itulah yang terjadi
dalam mekanisme pancaran gelombang otak kita sebagai representasi jiwa. Jadi,
secara umum kita melihat bahwa aktivasi otak seiring dengan aktivitas jiwa.
Aktivitas jiwa bakal memancarkan energi makna. Energi makna tersebut lantas
memicu munculnya energi elektromagnet di sel-sel otak. Selanjutnya energi
elektromagnet tersebut memunculkan
jenis-jenis neurotransmister dan hormon tertentu yang terkait dengan kualitas
aktivitas jiwa tersebut. Misal, neurotransmister untuk kemarahan berbeda dengan
kegembiraan, berbeda dengan sedih, malas dan lain sebagainya.