15:28 in
Saat handphone
di meja bergetar, pertanda ada yang menghubungi nomorku. Meski tak sempat
melihat nama yang tertera di layar, tapi aku hafal siapa pemilik suara di
seberang sana.
“Bagaimana rencana pernikahan kalian, sudah
sejauh mana persiapannya?” itu pertanyaan pertamaku setelah saling menanyakan
kabar.
“Alhamdulillah, sudah sembilan puluh persen.”
“Syukurlah. Masih ada cukup waktu untuk
menggenapi sisanya.”
“Insya Allah! Tapi…“
“Tapi kenapa?”
“Salah satu dari orang tua kami menginginkan
kami menikah di hari berdasarkan hasil perhitungan mereka.”
Aku ber-oh pelan. Aku bisa merasakan dilema
yang sedang ia hadapi, karena akupun pernah berada di situasi, kondisi dan
posisi yang sama. Tak mudah merubah pendirian orang tua dengan
perhitungan-perhitungannya. Tapi mengikuti – perhitungan – mereka, hati tetap
tak bisa terima.
“Menurutmu aku harus bagaimana?”
Tak perlu kusarankan ia untuk melakukan
pendekatan kepada orang tua, menyampaikan rasa keberatan atas keyakinan bahwa
jodoh, mati dan rejeki bisa diprediksi berdasarkan hari lahir. Ia sudah
berusaha berbagai cara untuk mengingatkan dan menyadarkan bahwa langkah yang
mereka tempuh adalah keliru, tidak ada dalil ataupun contohnya.
“Kalau boleh aku menyarankan, dengan mengucap
bismillah, ikutilah orang tuamu, menikahlah pada hari itu,” aku mencoba memberi
solusi.
“Mengikuti perhitungan yang jelas-jelas tidak
ada dalil dan contohnya?” suara di seberang terdengar tak percaya.
“Bukan! Bukan begitu maksudku.” Aku mencoba
menjelaskan. “Restu dari orang tua sangatlah penting bagi anak, terlebih yang
hendak membangun rumah tangga. Sakinah, mawadah, warahmah bukan sekedar
rangkaian kata, tapi benar-benar menjadi nyata, salah satunya apabila ada ridho
dan restu dari orang tua. Sayangi dan hormati orang tua, bagaimanapun ridho
Allah ada pada mereka. Ketika kita tak sependapat atau bahkan ketika mereka
keliru, sampaikan dan ingatkan mereka dengan santun. Jangan arogan walaupun
atas nama kebaikan dan kebenaran. Kalaupun akhirnya tetap tak sejalan dan
sepemikiran, hormat pada mereka janganlah sampai ditiadakan.”
Lengang, tak terdengar jawaban dari seberang,
hingga akhirnya aku yang kembali melanjutkan pembicaraan.
“Sungguh, aku pun tak percaya, sangat
menyayangkan kebiasaan orang-orang tua kita yang memprediksi jodoh, mati dan
rejeki berdasarkan hari lahir, termasuk mengotak-atik hari, weton atau apalah
untuk menentukan kapan pernikahan boleh dan bisa dilangsungkan. “
Aku berhenti sejenak, merapihkan kertas yang
tercecer di dekat pc jadulku.
“Yang aku maksudkan, tetap tunjukkan bakti dan
hormatmu kepada orang tua, jangan berlaku kasar pada keduanya. Jika sampai saat
ini kau masih saja berkutat di masalah itu, barangkali ada yang terlupa darimu.
Dulu pernah kau bilang, agar tidak merepotkan tamu-tamu, kalian ingin
melangsungkan pernikahan dan walimahan di hari libur. Bukankah pilihan orang
tuamu juga pas hari libur? Satu lagi, kau sendiri bilang berkali-kali, bahwa
Allah menciptakan hari, semuanya adalah baik. Itu berarti hari yang dipilih
orang tuamu – memang - termasuk hari baik. Iya, kan? “
Masih tak ada jawaban. Hanya terdengar suara
hembusan nafas berat dari seberang sana.
“Ada banyak hal penting lain yang perlu kalian
siapkan agar pernikahan kalian dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan,
diikhtiarkan dan juga diharapkan. Jangan karena berkutat pada satu hal, lantas
membuat banyak hal penting lainnya menjadi terabaikan yang kemungkinan dapat
merusak atau setidaknya mengurangi kesan pada moment bahagia kalian. Raihlah
ridho orang tua, dapatkan restu dari mereka, hormati keduanya dan tunjukan bukti
baktimu padanya. Insya Allah, hari dan tanggal hasil perhitungan mereka adalah
termasuk hari baik, karena memang Allah menciptakan hari tiada yang buruk,
semuanya baik. Yang terpenting adalah niat dalam hatimu.”