Saat saya sedang duduk
santai di beranda, istri saya menghampiri dan menemani untuk ngobrol berbagai
hal. Setelah cukup lama ngobrol, dengan lembut istri saya berkata, “Mas Asa (19
tahun, anak kedua kami) kemarin protes kepada bapak melalui saya.”
Setelah terdiam sejenak,
istri saya kemudian melanjutkan, “Saat mas Asa punya ide bisnis, lalu
disampaikan dengan penuh semangat ke bapak, bapak malah mencari kelemahan ide
dan gagasan bisnis itu. Walau mas Asa menyadari idenya itu ada kelemahan,
tetapi seharusnya ia diberi apresiasi dulu, baru dikritisi.”
Mendengar penjelasan
istri saya tersebut, saya menarik nafas panjang sembari mengingat saat Asa
mempresentasikan ide bisnisnya. Anak lelaki saya ini ingin mengembangkan bisnis
makanan khas daerah untuk kemudian diekspor ke berbagai negara. Ketika itu saya
memang fokus menyerang idenya dengan mengatakan pasar dalam negeri masih luas,
mengapa harus ekspor, bla bla bla.
Usai diskusi dengan
istri, saya menyadari bahwa ternyata saya belum menjadi seorang ayah yang baik.
Seharusnyalah, ide sekecil apapun yang disampaikan seorang anak kepada ayahnya
diberi apresiasi dan penghormatan yang pantas.
Apalagi sebelum
presentasi, anak saya sudah belajar dan mempelajari kelayakan bisnisnya serta
berkonsultasi dengan banyak ahli. Oleh karena itulah Asa yakin dengan ide dan
gagasannya. Sayang, ide itu dipatahkan oleh saya, ayahnya sendiri.
Sebagai orangtua, saya
masih perlu terus belajar. Saya harus tahu kapan saatnya memotivasi, kapan
saatnya mengkritisi. Sebagai orangtua, saya juga harus belajar kapan saatnya
memberikan komentar dan kapan saatnya “berkelakar”.
Sebagai orangtua, saya
perlu belajar kapan saatnya memberikan pelajaran dengan lisan dan kapan saatnya
membiarkan anak-anak dapat pelajaran dari sekolah kehidupan. Memang, pelajaran
dari sekolah kehidupan terkadang berupa kegagalan dan penderitaan, tetapi itu
diperlukan bagi kematangan anak-anak di masa yang akan datang.
Duhai anakku, tumbuh dan
berkembanglah sesuai dengan zamanmu. Sementara bapak yang merupakan produk masa
lalu ini akan terus belajar memahami perkembangan eramu agar bapak tidak salah
dalam mendampingi perjalanan hidupmu. Maafkan bapakmu, izinkanlah bapakmu untuk
terus belajar menjadi orangtua yang tepat bagimu.
sumber:http://jamilazzaini.com