Penulis : Jamil Azzaini
Masih ingat Asep, driver taksi yang sangat mencintai ibunya
dan ingin memberangkatkan ibunya ke tanah suci? Setelah kisahnya saya tulis di
sini, saya dan beberapa teman ingin mewujudkan mimpinya memberangkatkan ibunya
Asep umroh. Sayapun sudah menghubungi biro haji dan umroh, bahkan saya diberi
harga khusus.
Setelah semua oke, saya telepon Asep dan berjanji bertemu di
bandara Soekarno Hatta bersama ibunya. Hari itu, sebelum terbang ke Makassar, saya menunggunya selama 2 jam di bandara, namun
Asep dan ibunya tak juga muncul. Saya coba telepon lagi tapi tidak pernah
tersambung. Beberapa hari kemudian Asep menelepon saya dan meminta maaf karena
ia telah kehilangan handphone-nya.
Kami lalu berjanji untuk bertemu lagi. Namun setiap kali
saya meneleponnya tidak kunjung tersambung. Akhirnya saya menghubungi
perusahaan taksi tempat Asep bekerja (Blue Bird) melalui Twitter, kemudian
ditindaklanjuti via telepon. Setelah menunggu beberapa pekan, Rabu kemarin
customer service perusahaan taksi tersebut menelepon saya, mengabarkan bahwa
ibunya Asep tidak mau saya berangkatkan umroh. Alasannya sederhana, “Saya belum
kenal bapak Jamil.”
Mendengar kabar itu, saya sedih bercampur kagum. Saya
teringat seorang tukang ojek sepeda yang dibelikan makanan enak tapi tak mau
makan. Walau sudah dijelaskan itu makanan halal, tetap saja ia tak mau makan.
Alasannya sederhana, “Saya harus tahu apa yang saya makan.”
Betapa banyak orang yang menjaga dirinya dan berhati-hati
menerima bantuan. Merekapun menjaga agar apa yang masuk ke dalam perutnya
adalah sesuatu yang ia pasti tahu dan baik baginya. Menurut saya, orang-orang
semacam inilah yang punya harga diri dan bermartabat.
Martabat tidak berhubungan dengan kekayaan dan kedudukan.
Banyak orang kaya dan punya posisi tinggi tetapi tidak punya martabat. Mereka
adalah orang kaya yang memamerkan kekayaannya, padahal jutaan orang lain,
termasuk tetangganya, hidupnya masih melarat. Mereka adalah orang-orang yang
punya posisi tinggi tetapi selalu minta dilayani, bukan melayani orang-orang
yang dipimpinnya.
Orang-orang bermartabat selalu menjaga sikap dan perbuatan.
Mereka tidak silau dengan gemerlapnya dunia. Mereka tidak mudah mengikuti arus.
Mereka adalah orang yang hidupnya sederhana dan bersahaja, namun pikiran dan
hatinya merdeka. Hidupnya mungkin tak dikenal manusia, tetapi kehebatannya
mungkin tersiar di penduduk langit. Kepada merekalah kita seharusnya berguru
dan belajar tentang martabat.
 
 
 
