15:32 in Aku mau belajar, semoga bermanfaat
Hari gini masih maen FB dan twitteran? Masih suka galau? Atau
malah pengen nyiptain “sesuatu” dalam hidup kamu? Sebenernya masih banyak
seabrek pertanyan lain yang bakal kagak ada habisnya ditulis di sini. Banyak
organisasi/orang yang dianggap (atau lebih tepatnya “merasa”) sukses dengan
menerapkan social (baca sok-sial) network, sebagai salah satu channel
komunikasi mereka, walapun ternyata tidak demikian adanya. Karena memang sangat
susah untuk bisa menilai keberhasilan suatu kondisi sosial (dalam hal ini
komunikasi), mengingat dinamika yang ada di dalamnya yang sangat fluktuatif.
Terus kenapa social network jadi “#sesuatu” yang ngetren abis? Apa sih social network
itu?Berdasarkan penjelasan dari wikipedia, social
network adalah sebuah konsep/teori dimana seorang individu merupakan titik
(node) yang terhubung dengan titik yang lain karena satu alasan tertentu (mis:
keluarga, temen, kesamaan interest/hobby, tinggal di wilayah yang sama, bekerja
di tempat yang sama, hingga dari agama yang sama). Hubungan antar titik ini
bisa divisualisasikan menjadi menjadi semacam peta hubungan antar individu
berdasar pada alasan tertentu untuk kemudian dianalisis untuk berbagai macam
keperluan.Guna memfasilitasi terwujudnya sosial network
dalam satu bentuk yang bisa dipahami dan dirasakan manfaatnya, beberapa
perusahaan menghadirkan yang disebut sebagai social network service, alias
penyedia jasa jejaring sosial, dimana jumlahnya sangat banyak sebenernya, cuma
beberapa yang terkenal dan umum dipake saat ini, yaitu facebook en twitter.
Perusahaan jejaring sosial ini memperoleh keuntungan utamanya dengan menjual
iklan, dan data yang mereka peroleh dari para membernya untuk keperluan
analisis tertentu. So, semakin
banyak data yang berhasil mereka peroleh, akan semakin tinggi pula akurasi
informasinya dan semakin banyak pula analisis yang bisa dilakukan, yang pada
akhirnya akan semakin banyak dolar yang bisa diperoleh oleh para penyedia jasa
sosial tersebut.Dengan melihat besarnya potensi penggunaan
jejaring sosial ini, kemudian muncul berbagai ide penggunaan jejaring sosial
bagi para user aktifnya. Umumnya di Indonesia mereka sering disebut sebagai
situs pertemanan, dimana mereka “berasumsi” dengan menggunakan situs pertemanan
atau jejaring sosial ini, mereka sudah bersosialisasi dan eksis banget di dunia
dan akherat. Sementara bagi para pedagang, begitu mereka tahu potensi yang
tersimpan pada situs pertemanan atau jejaring sossial ini begitu besar, spontan
saja intuisi dagang mereka tumbuh subur bak jamur di musim duren, eh musim hujan, tanpa perlu banyak
cingcong mereka membombardir jejaring sosial dengan iklan dagangan mereka.
Sementara bagi mereka yang “gila popularitas”, jejaring sosial ini merupakan
surga bagi para narsis-mania untuk menyalurkan hasrat narsis mereka yang menggelora
dengan afdol bin toyib. Oya, masih banyak kelompok lainnya yang menggunakan
jejaring sosial ini untuk keperluan mereka masing-masing. Karena saking
banyaknya kemungkinan penggunaan jejaring sosial ini, in
the end, gue ngerasa jejaring sosial adalah tempat sampah informasi
saja.Loh kok tempat sampah? Iya, karena tidak mudah
untuk bisa memanfaatkan informasi yang kita peroleh dari sana. Memang selalu ada informasi bermanfaat
yang bisa kita ambil, namun yang model kayak gini sangat sedikit sekali jumlahnya.
Coba aja kalo kamu lagi online misal selama 30 menit, hitung deh berapa banyak
“sesuatu” yang bener-bener bermanfaat bagi kamu? Kondisi ini mirip banget
dengan keranjang sampah, dimana selalu aja ada “sesuatu” yang bisa dimanfaatkan
di dalamnya, tapi ya sedikit banget, dan seringnya untuk memperoleh yang
sedikit ini, harus dengan susah payah karena kudu diproses dulu, sementara 30
menit tersebut kalo kita gunakan untuk membaca al-Quran, lumayan banget gitu
looh, yah bisa kurang lebih dapet 1 juz lah. Bersosialisasi dan
permasalahannyaBack to the fact, kita meluangkan waktu
untuk aktivitas yang tidak penting, seperti sharing foto, saling poking, update
status dan sebagainya. Dalam kenyataan yang sebenernya (realita) kita bisa
memperoleh kesenangan yang jauh lebih asyik daripada melakukan hal tidak
bermanfaat itu, misal pergi bareng temen-temen kamu, sharing foto dengan metode
kuno, alias tukeran album foto, dan kemudian jelasin satu persatu foto yang ada
dalam album tersebut secara langsung, nikmati setiap candaan spontan
temen-temen kita dan masih banyak kesenangan lainnya yang nggak bakalan bisa
kamu dapetin di jejaring sosial. Menurut kamu, temen yang kamu pergauli dengan
cara chat via BBM/FB/Twit, video call via Skype, nyoret-nyoret wall mereka lebih
seneng diperlakukan seperti itu daripada interaksi sosial secara langsung? Kalo
jawabannya ‘Ya”, artinya kamu ato temen kamu sakit!
Selain memberikan ilusi akan sosialisasi yang
palsu, jejaring sosial juga memiliki seabrek permasalahan lainnya, beberapa di
antaranya adalah: Pertama, jejaring sosial sering menjadi ajang “childish”
alias kekanak-kanakan. Sebagian merupakan efek dari narsisme, dimana doi pengen
banget dapet perhatian orang lain. Pastinya sudah sering denger orang complain di jejaring sosial hanya karena hal
sepele, kayak laper, pusing, dingin, nggak dibeliin Ipad, engga diijinin kawin
ama ortunya (loh?) dan sebagainya. Apa untungnya memposting permasalahan yang
sedang kita hadapi? Supaya seluruh dunia ngebacanya? Ngebuka aib sendiri? Atau
kesulitan menerima kenyataan yang sedang kamu hadapi? Come On Grow Up Guys!Kedua, penyimpangan penggunaan jejaring sosial
untuk tujuan jahat, sudah sering kita denger orang tertipu dari jejaring
sosial, mulai ketipu dari hal yang kecil sampai ketipu jenis kelamin
pasangannya yang dikenal via jejaring sosial, karena data jenis kelaminnya di
jejaring sosial dimanipulasi. Sangat susah untuk bisa kita cerna dengan logika
kita: sad, but it’s true (**sambil nyanyi lagunya Metallica!)Ketiga, sumber berbagai permasalahan
interpersonal. Mulai dari sindir-sindiran via status update, kesinggung karena
salah baca updetan temen, Ge-er ama status temen (dikira dirinya, padahal
bukan), sampai yang berujung perceraian juga sudah terjadi, udah wasting
time nambah masalah pula,
rugi bener.Keempat, alat marketing yang digunakan terlalu
berlebihan. Udah jamak jaman sekarang berbagai produk dicantumkan, follow us on
fb or twitter. Banyak perusahaan mengganggap jejaring sosial adalah alat
marketing murah meriah yang cukup populer, coba deh kamu tanya diri kamu
sendiri, buat apa sih follow sebuah produk gitu loh? Masih lumayan follow
seorang pakar di bidang tertentu, karena kita berharap bisa belajar banyak dari
informasi yang dia share di jejaring sosial, nah ini follow produk? Misal kita
follow produk popok bayi, ngapain kita (manusia) “mengikuti” popok bayi? Apa
engga lebih baik kita mengikuti Nabi Muhammad saw.? Nyadar dong kalo kita udah
dijadikan obyek marketing gratisan!Kelima, permasalahan klasik, yakni soal
privasi. Data apapun itu bentuknya, ketika kita pengen ngehapus (bener-bener
hilang, bukan nonaktif) ternyata terlalu berharga bagi para penyedia jasa
jejaring sosial. Sebab, bagi mereka setiap data ada harganya. Data yang sudah
mereka peroleh dengan mudah dari para usernya yang susah payah mendaftar dengan
suka rela, tidak serta merta hilang ketika kita seorang user menutup akun-nya.
Ini memunculkan pertanyaan mendasar, data-data tersebut sebenernya punya siapa?
Kalo kemudian ada yang nyari duit dari data-data kita tersebut, mestinya kita
berhak memperoleh bagian dari penjualannya dong. Tul nggak? Bijak gunakan jejaring
sosialMenimbang kemudhorotan dan manfaat dari
jejaring sosial, mestinya kita bisa dengan mudah menentukan kudu gimana kita
dengan kondisi jejaring sosial saat ini. Yang jelas sikap idealnya adalah
meninggalkannya jika tak mampu memanfaatkan dengan benar dan baik. Namun bila
hal itu ada niat dan mampu untuk menyampaikan dakwah dan menunjang tersebarnya
dakwah via internet, silakan saja. Buletin gaulislam juga punya kok akun di fb
dan twitter untuk menunjang penyebaran informasi dakwah. Ya, sebatas keperluan
itu saja.Memang hukum dasarnya adalah mubah untuk
penggunaan teknologi semacam ini, dari sudut pandang usul fiqih, mubah adalah
kondisi hukum yang berupa pilihan yang diserahkan pada manusia, yang dimaksud
dengan pilihan di sini adalah pilihan untuk melakukan maupun tidak melakukan
aktivitas tersebut, tentunya harus ditimbang dengan standard syar’i. Jadi kita
musti menimbang permasalahan penggunaan jejaring sosial ini sesuai dengan
kondisi yang kita hadapi.Fenomena maraknya jejaring sosial di Indonesia ini
juga mengindikasikan bagaimana kualitas umat Islam di negeri kita, karena
sebagai seorang muslim kita kudu bisa menghargai waktu dengan baik dengan cara
memanfaatkannya sesuai dengan hadis daro Abu Hurairah r.a.: “Nabi bersabda,
salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah ketika dia meninggalkan
hal-hal yang tidak bermanfaat (bagi dunia dan akhiratnya)”. Dari hadis tersebut
bisa kita tarik kesimpulan kalo emang keislaman umat di Indonesia ini
baik, sudah pasti hal-hal yang tidak bermanfaat pasti nggak akan laku, bukan
malah sebaliknya.Get Real, Bro! Kalo kamu emang punya pemikiran
jenius tiada taranya, tuangkan pemikiran kamu dalam amalan yang “Real”, supaya
orang lain merasakan hebatnya kontribusi pemikiran jenius kamu! Buat apa kamu
tuangkan pemikiran jenius kamu di jejaring ‘soksial’ dan kemudian ngerasa
“besar” di FB/Twit karena banyak temenya atau follower-nya yang ngerespon
pemikiran-pemikiran kamu, tapi kehidupan nyata, you’re nothing!Kita kudu kembali bersosialisasi dengan
“real”! Sosialisai itu gampang kok dan mengasyikan, nggak perlu media-mediaan,
and so pasti sangat manusia banget dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Hiduplah lebih banyak di dunia nyata, buatlah “sesuatu” in real life, Islam
masih memerlukan banyak banget pejuang-pejuang tangguh dan jenius seperti kamu
untuk menegakkan kembali kekhalifahan di muka bumi ini. So,
banyak-banyaklah bersyukur terhadap apa yang sudah kamu dapet saat ini, semoga
bermanfaat.