09:27 in
Kepadamu,
belahan jiwaku, di 201x
“DINDA, karena
kini kau adalah pakaian untukku, dan aku pun adalah juga pakaian untukmu. Di
detik-detik pertama kebersamaan kita ini, aku ingin memberitahumu tentang satu
hal. Kuharap setelah mengetahuinya, kau tak akan terkejut lagi, apalagi sampai
pingsan. Aku sangat tidak mengharapkan hal itu terjadi padamu. Di saat kau
mendapatiku masih jauh panggang dari api persangkaan baikmu tentangku sejauh
ini. Dan, jangan pernah terlintas di benakmu sekali-kali untuk menyalahkan Dia
yang telah meyakinkanmu untuk menerimaku.
Adalah
maklumatNya, penciptaan kita bukan wujud sepasang malaikat tanpa cela, pun juga
lain sejoli iblis laknat. Kita, kau dan aku, hanyalah a couple of the
middle.
Ah, mungkin
ini terlalu berbusa-busa di ujung kerlip indah cemerlang matamu itu, Dinda.
Tapi wajib bagiku untuk setidaknya mengulangnya sekali ini saja padamu, di
sini.
Perluaslah
ruang tulus di hatimu hingga beberapa kuadrat dari volume normal untuk menjadi
saksi pertamanya. Bahwa aku, orang yang sedang berbicara begitu dekat di
depanmu kini, hanyalah seorang yang dititipi sangat sedikit kaweruh -
selanjutnya kau boleh menyebutnya ilmu sebagai padanannya.
Dan, kaweruh yang pangkat tak terhingga sedikit itu pun pembandingnya
bukan dengan yang menitipkan kaweruh itu sendiri. Sangat super konyol
bin ajaib jika sempat terbersit praduga ini di syarafmu yang cerdas itu, Dinda.
Tetapi, sangat super sedikit dari kaweruh yang paling sedikit dari
makhluk yang seakar serumpun dengan kita dari manusia pertama. Atau lebih
tepatnya, lebih sedikit lagi dari itu.
Aku hafal di
luar kepala, benderang cemerlang secerah mentari tengah hari tanpa mega awan
asap cerobong pabrik baja, shalat Dhuha dua rakaat adalah salah satu media yang
bisa mendekatkan rizki kita di dunia ini. Tapikaweruhku ternyata masih cukup
puas mentok hanya pada sebatas itu saja. Masih enggan pangkat tiga puluh satu
mempraktekkannya dalam rutinitas harianku hingga detik-detik ini. Jika pun
tergerak, masih sangat jauh padat dari isi, ibarat tong kosong penuh
bolong-bolong di sana-sini.
Itu baru satu
contoh kecil, betapa kaweruh yang super sedikit ini pun ternyata
masih terlalu sering terlalaikan dari pengamalan yaumiyah-ku.
Maafkan aku,
Dinda. Hanya sosok tak jauh dari seperti itulah yang ditakdirkan menjadi
khalifah kecilmu itu dari sisa usia perakmu. Semata agar kau bersedia menjadi
sumbu api lokomotif ini hingga sanggup mengantarmu ke stasiun terakhir tanpa
direwangi mogok di setengah awal langkah perjalanan nan panjang berliku-liku
tepat di tengah hutan perawan nun jauh dari hiruk pikuk pompa isi ulang bahan
bakar alam.
Supaya kau
tak merasa bosan dan jera mengingatkanku untuk terus memperbaiki diri dan
meningkatkan kualitas penghayatan dan pengamalannya di sisa kebersamaan kita.
Kau, Dinda,
bersediakah?”