Turun dari bis, barulah sisi baik hati ini bergumam, “Andai
saya berikan tempat duduk kepada ibu tadi, mungkin pagi hari ini keberkahan
bisa saya raih. Siapa tahu ridha Allah untuk saya di hari ini dari do'a dan
terima kasih ibu itu jika saja saya berikan tempat duduk.” Ah, kenapa baru
kemudian diri ini menyesal?
Di dalam perjalanan menuju kantor, saya terlelap menikmati
sejuknya udara dalam bis. Tak terasa hingga kondektur bis membangunkan saya
untuk menagih ongkos. Dengan mata yang masih merejap, saya ulurkan sejumlah
uang untuk membayar ongkos bis. Dan, samar mata saya menangkap sosok seorang
ibu setengah baya berdiri tak jauh dari tempat saya duduk. Tapi, rasa kantuk
dan lelah mengalahkan niat baik untuk memberikan tempat duduk untuk ibu
tersebut.
Semalam dalam perjalanan pulang dengan kereta api, duduk di
hadapan saya seorang bapak berusia 40-an. Lewat seorang penjual air minum
kemasan, dan ia segera menyetopnya untuk membeli. Tangan kirinya memegang
segelas air minum kemasan sementara tangan satunya merogoh-rogoh kantongnya.
Sesaat ia memperhatikan beberapa keping yang ia mampu raih dari bagian terdalam
kantongnya, ternyata ia mengembalikan segelas air minum kemasan yang sudah
digenggamnya kepada penjual air sambil menahan rasa hausnya.
Kemarin, sebelum Isya, juga dalam perjalanan pulang. Hanya
berjarak 200 meter dari kantor, saya melewati pemandangan yang menyentuh hati.
Di pinggir jalan Wijaya, Jakarta Selatan, sekeluarga pemulung tengah menikmati
penganan kecil berbuka puasa mereka. Suami, istri, beserta dua anaknya itu
tetap lahap meski yang mereka nikmati hanya sebungkus kue –entah pemberian
siapa. Sempat langkah ini terhenti setelah tujuh atau delapan langkah melewati
mereka, sempat pula saya berpikir untuk menghampiri keluarga itu untuk sekadar
mengajak mereka makan. Tapi, bayangan ingin segera bertemu anak-anak di rumah
mengalihkan langkah saya untuk meneruskan perjalanan.
Saya yang sedari tadi di depan bapak itu hanya bisa
menjadikan serangkaian adegan itu sebagai tontonan. Tidak ada tawaran kebaikan
keluar dari mulut ini untuk membelikannya air minum, meski di kantong saya
terdapat sejumlah uang yang bahkan bisa untuk membeli dua dus air minum
kemasan! Bayangkan, cuma 500 rupiah yang dibutuhkan bapak itu, tapi hati ini
tak juga tergerak?
Padahal, dengan uang yang saya miliki saat itu, sepuluh
bungkus nasi goreng pun bisa saya belikan. Apalagi jumlah mereka hanya empat
kepala. Dan kalaupun harus tergesa-gesa, toh semestinya saya bisa memberikan
sejumlah uang untuk makan mereka malam itu, atau juga untuk sahur esok hari.
Duh, kenapa kaki ini justru meneruskan langkah sekadar untuk memburu kecupan
kedua putri saya sebelum mereka tidur?
Pagi ini. Saya coba renungi semua perjalanan hidup ini. Ya
Tuhan, sudah sedemikian keraskah hati ini? Sehingga tanpa rasa berdosa saya
lewatkan begitu banyak kesempatan berbuat baik. Bukankah selama ini saya selalu
berdo'a agar Engkau memberikan kemudahan untuk berbuat baik terhadap sesama?
Tetapi ketika Engkau berikan jalan itu, saya malah melewatkannya.