Saya pernah ditanya oleh seorang kawan yang berprofesi
sebagai guru, pertanyaan beliau mengapa anak-anak zaman sekarang sangat bandel
dan susah diajar? Saya sejenak termenung. Untuk mengkonkritkan pertanyaan
beliau, saya balik bertanya, “Mengapa bertanya demikian?” Beliau memberikan
alasan berikut contoh konkrit yang terjadi di lapangan, terutama pada saat
beliau mengajar anak didiknya. Alasan-alasan beliau diterima oleh logika saya,
saya pun memberikan jawaban pertanyaan beliau, meski saya menyadari bahwa
jawaban saya hanyalah analisa saya melihat perkembangan kehidupan anak-anak
zaman sekarang.
Anak-anak zaman sekarang bandel dan susah diajar adalah
karena kesalahan orangtuanya. Dulu, orangtua menjadi panutan bagi anak-anaknya.
Jika orangtua mengatakan, “Shalat, nak!” mereka mempraktikkan shalat. Saat
mereka mengatakan, ”Tutuplah auratmu, nak!” mereka tampil dengan fashion yang
Islami dan menutup aurat. Namun, sekarang kenyataan telah berbalik, orangtua tidak
pernah shalat, bagaimana anak-anak diperintahkan melaksanakan shalat. Bagaimana
anak-anak mau menutup aurat mereka, jika orangtua mempertontonkan aurat. Memang
teladan adalah metode tepat pembinaan akhlak. "Pendidikan dengan teladan
akan jauh memberikan bekas yang mendalam," demikian diutarakan Abdullah
Nashih Ulwan dalam Tarbiayatul Aulad Fil Islam.
Alasan berikutnya yang saya berikan adalah karena regulasi
yang dipahami salah arah. Kita tentu tahu dengan UUPA (undang-undang
perlindungan anak). UUPA telah menjadi bumerang, terutama mereka yang salah
memahaminya. Sekarang, jika ada pendidik yang sedikit keras dalam mengajar,
maka akan langsung diadukan ke polisi. Dulu, saat saya masih belajar di
Pesantren, jika tidak sanggup menghafal bait al-fiyah, tasrif dalam kitab
sharaf, maka mistar kayu obatnya, bahkan ada yang dijemur dalam terik matahari.
Namun, saya dan juga teman yang mendapatkan hukuman tidak pernah mengadukan
guru kami, orangtua kami tidak pernah datang ke Pesantren untuk mengadukan guru
kami itu, bahkan yang anehnya, kami pun akan kembali dipukul orangtua kami jika
melapor bahwa kami disetrap sama guru. Masya Allah.
Dalam kenyataan sekarang, UUPA bagai menganakemaskan
anak-anak yang tidak boleh tersentuh dengan berbagai hukuman. Tersebut kisah
dalam kitab Ta’limul Mutaa’limin, bahwa pada suatu hari saat Raja Harun
Ar-Rasyid bersilaturrahim ke rumah guru anaknya, Raja melihat bahwa sang guru
sedang menyuruh anaknya menimba air dan membasuh kakinya. Setelah selesai, Raja
Harun Ar-Rasyid menegur sang guru, mengapa tuan guru hanya menyuruh anaknya
menyiram air dengan satu tangan, tanpa disuruh membilas kakinya dengan tangan
yang satunya lagi. Kisah ini tentu mengajarkan kepada orangtua, bahwa jika ada
metode pendidikan yang sedikit agak ekstrim, maka jangan terpancing memvonis
bahwa itu salah, dan yang menerapkannya diganjar dengan hukuman, terlebih lagi
ada regulasi yang melegalkannya. Untuk itu, bersikap arif dalam menyikapi
persoalan metode kasar dalam pendidikan dan UUPA sebagai payung hukum bagi
perlindungan anak-anak. Saya teringat hadits yang menyatakan bahwa umur tujuh
tahun diperintahkan kepada kita untuk menyuruh anak-anak mengerjakan shalat.
Jika umur sepuluh tahun mereka masih enggan melaksanakan shalat, maka
diperintahkan untuk memukulnya. Namun, memukul yang dimaksud tentunya pukulan
yang tidak sampai menyakiti anak, tetapi pukulan yang mendidik.
Kemudian alasan lain yang saya berikan adalah bahwa pranata
pendidikan kita sekarang telah rusak. Keluarga, lembaga pendidikan, dan
masyarakat tidak lagi berjalan beriringan mengawasi pendidikan anak-anak. Saat
saya masih kecil, jika tiba waktu sekolah dan mengaji, ayah saya (alm) marah
luar biasa jika saya tidak mengaji dan sekolah, kemudian sampai di sekolah atau
di tempat pengajian dijaga super ketat agar tidak lalai dalam belajar. Jika ke
luar rumah, tidak bersekolah atau mengaji, keluyuran di jalan-jalan akan ada
orang yang menengur, mengapa tidak sekolah atau mengaji. Singkatnya, tak ada
areal aman bagi anak-anak jika waktunya jam belajar, tidak ada tempat
berlindung bagi anak-anak untuk lari dari proses belajar.
Demikian alasan yang saya berikan kepada teman saya yang
bertanya mengapa anak-anak zaman sekarang bandel dan susah diajar. Saya yakin
bahwa jawaban saya ini probabilitas, mungkin ada benarnya dan mungkin juga
salah, namun saya pun yakin bahwa sohib semua juga memiliki jawaban sesuai
dengan pengalaman yang sohib alami dalam menempuh pendidikan. Saya mengharapkan
bahwa kita dapat berbagi pengalaman, terutama dalam upaya menciptakan pendidikan
yang lebih baik, baik pendidikan dalam keluarga, institusi pendidikan, dan juga
dalam masyarakat.
 
 
 
