Penulis : Jamil Azzaini
Guru kehidupan tidak harus orang yang membagikan ilmu di
depan kelas atau memberi suri tauladan. Guru kehidupan juga bisa orang yang
menghina dan merendahkan kita. Keluarga kami punya seorang guru kehidupan. Ia
(dulunya) orang kaya di kampung kami.
Bagaimana ia menjadi guru kehidupan kami? Akan saya
ceritakan di sini.
Tahun 1987, saya mendapat undangan kuliah di Institut
Pertanian Bogor (IPB) tanpa tes. Di dalam surat
undangan itu disebutkan salah satu persyaratannya adalah membawa uang
pendaftaran sebesar Rp. 150.000,-. Bapak saya lalu mengajak saya ke rumah orang
kaya di kampung untuk meminjam uang.
Setelah ngobrol berbagai hal, sampailah ke pokok
pembicaraan. Bapak saya membukanya dengan mengatakan, “Alhamdulillah, pak,
Jamil diterima kuliah di IPB, ini surat
undangannya. Dalam surat undangan ini Jamil
harus membawa uang seratus lima
puluh ribu, tolong pinjami kami uang tiga ratus ribu.”
Tanpa diduga, orang yang kaya di kampung saya tersebut
berdiri. Kata-kata ejekan, hinaan, dan kotor keluar dari mulutnya. Ia menghina
bapak saya. Mendengar bapak saya dihina dan dicaci, saya hanya menangis. Ketika
saya sedang menangis, tiba-tiba bapak saya memukul meja kemudian berdiri sambil
berkata keras, “Bapak jangan sombong, jangan mentang-mentang kaya, menghina
orang seenaknya. Saya memang miskin di sini, tapi perlu bapak ketahui, tanah
saya masih luas. Permisi!”
Kami pun pulang dengan berboncengan naik sepeda. Di tengah
perjalanan, saya bertanya, “Tadi bapak bilang tanah kita luas, tanah yang
mana?” Dengan tetap mengayuh sepeda, bapak saya menjawab, “Itu pulau Jawa.”
Mendengar jawaban itu, saya pukul-pukul punggung bapak saya sambil berkata,
“Kenapa bapak bohong, saya gak suka bapak bohong, saya gak suka. Dulu bapak
pernah memukul saya karena saya berbohong, tapi kenapa hari ini bapak bohong?”
Bapak saya menghentikan genjotan sepedanya dan turun dari
sepeda, kemudian memeluk saya. Sambil memeluk erat-erat, beliau berkata, “Mil,
baru kali ini bapak dihina di depan anak bapak. Bapak malu, Mil. Bapak harus
menjaga harga diri keluarga. Kamu harus jadi Insinyur Pertanian, Mil.” Pelukan
itu adalah pelukan bapak yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup
saya.
Belasan tahun berlalu. Suatu saat, saya kembali ke kampung.
Saya diajak ke kebun karet milik bapak. Sesampainya di kebun, bapak menunjuk
seseorang sambil berkata, “Masih ingat orang itu?” Tentu saya mengenalinya,
karena orang itu adalah yang orang menghina kami belasan tahun yang lalu. Kata
bapak saya, “Itulah guru kehidupan kita. Tanpa dia, kamu tidak akan jadi
Insinyur Pertanian. Jadi, walaupun dia sekarang buruh bapak, kamu tidak boleh
menghinanya.”
Ya, guru kehidupan itu telah jatuh miskin akibat berbagai
problema kehidupan yang dihadapinya. Namun demikian, sampai kapanpun kami tetap
menghormatinya. Karena dialah guru kehidupan kami.
