live chat fb



1.5.12

Kaya Yang Hakiki

Menilai dan membanding-bandingkan adalah fitrah manusia. Dengan cara itulah manusia belajar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Hal serupa dialami juga oleh anak saya bernama Rifal (10 tahun). Suatu ketika dia bertanya kepada saya,
“Pa, kita ini kaya atau miskin?”
“Emangnya kenapa nak? Kok tiba-tiba Rifal tanya begitu?”
“Iya Pak, Bang Yogi (kakak sepupu) itu kan punya rumah,motor, punya komputer, punya macem-macem, berarti dia orang kaya ya, Pa? ”
“Kaya itu kalau kita bermanfaat bagi orang lain, bisa memberi kepada orang lain. 

Misalnya bersedekah, menolong orang, dan berbuat baik kepada orang. Kebaikan yang kita lakukan itu adalah tanda bahwa kita ini kaya. Punya rumah bagus boleh, tapi lebih bagus lagi jika bermanfaat. Punya mobil, mobilnya dipakai buat menambah kebaikan dan mempermudah silaturrahim. Punya komputer, dipakai buat memudahkan urusan bukan sekedar buat main game. Jadi kaya itu kalau kita banyak memberi manfaat dan kebaikan.”

Diskusi berlanjut dengan membanding-bandingkan apa yang dia miliki. Meski masih kecil, nampaknya Rifal bisa diberi pengertian bahwa kaya itu bukanlah sekedar mengacu dan berhenti kepada hal-hal yang bersifat fisik. Di balik yang kelihatan, harus ada nilai manfaat yang tidak kelihatan. Terlalu naif rasanya jika kita hanya melihat dari satu sisi saja. Sebagai contoh, negara kita adalah negara yang secara fisik adalah kaya raya. 

Potensi sumber daya alamnya sangat luar biasa. Sumber-sumber pajak yang dikumpulkan juga sangat luar biasa. Namun apalah artinya status tersebut jika pada kenyataannya masih banyak rakyat yang hidup menderita dan tidak menikmati kekayaan negara tersebut. Sungguh ironis, memiliki tetapi tidak menikmati, ada tetapi tidak bermanfaat.

Pemahaman demikian rasanya perlu ditanamkan karena banyak orang terjebak dengan dichotomi kaya dan miskin, lebih dari dichotomi manfaat (maslahat) dan mubazir (mafsadat) atau dichotomi kebaikan dan kemaksiatan. Sangat mungkin bahwa sumber masalah bukanlah kaya atau miskin, tetapi lebih pada ada atau tidaknya dan sedikit atau banyaknya orang yang mau berbuat manfaat dan kebaikan. Kekayaan di tangan orang yang culas, tidaklah berarti. Ia akan mencapai manfaat yang optimal, jika dikembalikan kepada orang-orang yang baik dan berilmu.

Sebagai manusia biasa, adakalanya saya juga menilai dan membandingkan kekayaan diri dengan orang lain. Muatannya adalah muhasabah agar bisa menjadi lebih baik. Ukurannya bukan sekedar terhadap apa yang dimiliki seperti rumah, mobil, tanah, emas, dan lain-lain, melainkan kebaikan-kebaikan apa yang telah dihasilkan.

Alangkah bersyukurnya jika termasuk muslim yang rajin shalat fajar, karena disebutkan dalam sebuah hadits bahwa dua rakaat shalat fajar adalah lebih baik dari dunia dan seisinya. Alangkah bersyukurnya jika termasuk muslim yang rajin tilawah Qur'an, karena berarti telah menginvestasikan sepuluh kebaikan dari setiap huruf yang dibaca. Alangkah bersyukurnya jika rajin shalat berjama'ah di masjid, bersedekah setiap hari, membantu orang dalam kesulitan setiap hari, banyak berdzikir, dan lain sebagainya.
Semua itu Insya Allah menjadi jalan menuju kekayaan, meski kita sendiri tidak tahu berapa nilai kekayaan atau kapitalisasi dari setiap kebaikan tersebut. Allah yang Mahatahu dan memiliki hikmah atas disembunyikannya nilai kekayaan itu.

All. Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

Visitantes

My Blog List

Baca Juga Yang Ini Ya.......

search

Pengikut

My Blog List

Headlinews

Translate

BERITA TERKINI

JADWAL SHALAT

JADWAL SHALAT:

div>

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting