13:43 in
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa
kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam
keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang
memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya
asin tak ketulungan.
"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak
dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman,
ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap
masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.
"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi
belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti
ini!" Jawabku masih dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat
isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti
air matanya merebak.
*******
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu,
ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan
baiti jannati di rumahku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai
dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh
keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah.
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring
kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi
aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen
tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar
sambil mengurut dada.
"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu
kesal kalau keadaan terus menerus begini?" ucapku sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihah itu tak hanya pandai
ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan
rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin
rumah?"
Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar
ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah...wanita gampang
sekali untuk menangis," batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng.
Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng,"
bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.
"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang
sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang Ummi tak bisa
mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan
muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap
isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana
maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air
matanya kulihat tetap merebak.
Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…
*******
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji
ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini.
Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis
umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti
ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah
berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih
nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi.
"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj
saja," jawabku ringan.
Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini
ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk
menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya.
Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih
banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu
yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan
kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah,
sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.
Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah
sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf
M tertulis di sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh.
"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera
kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku
jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar
bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-mana ia pergi
harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.
"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek...," suara pintu terdengar
dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti
berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan
cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian
dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga
kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu,
tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh
berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidah (*)
ku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau
yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap
yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan
berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah
belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk
memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu
banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan
Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku
tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara
kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."
Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa
Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku
terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat
melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!
"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh
berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan
matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun,
kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
"Abi...!" bisiknya pelan dan girang.
Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku segirang ini.
"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika
sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?"
sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk
isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya.
"Alhamdulillah, jazakallahu...," ucapnya dengan suara mendalam dan
penuh ketulusan.
Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh
melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa
bersyukur memperoleh isteri zuhud (**) dan 'iffah (***) sepertimu? Kenapa baru
sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar
karena perhatianku?
Keterangan
(*) mujahidah : wanita yang sedang berjihad
(**) zuhud : membatasi kebutuhan hidup
secukupnya walau mampu lebih dari itu
(***) ‘iffah : mampu menahan diri dari rasa
malu
_________________
Semoga bermanfaat