Jika kita dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, “Pilih
mana yang harus disembuhkan terlebih dahulu, jerawat di wajah atau luka di
punggung?” Sebagian orang akan lebih mendahulukan mengobati jerawatnya
ketimbang luka menganga di punggungnya meskipun luka itu terasa lebih
menyakitkan.
Kadang alasannya sederhana, jerawat di wajah sangat
mengganggu penampilan, sedangkan luka di punggung masih bisa disembunyikan di
balik pakaian. Ia menjadi lebih penting untuk menyelesaikan urusan yang kecil
daripada masalah yang lebih besar.
Ya, jerawat memang urusan kecil, namun karena letaknya di
wajah ia terasa lebih bermasalah. Apalah lagi letak jerawat itu tidak jauh dari
mata, setiap saat selalu terlihat, terlebih saat bercermin. Belum lagi jika
seseorang menyinggungnya dengan kalimat menyindir, “Jerawat betah tuh?
Dipelihara ya?”
Padahal luka yang lebih parah terdapat di punggung. Hanya
saja karena ia di belakang dan tak langsung terlihat mata, seringkali
terabaikan, meskipun ia berpotensi menjadi masalah yang sangat besar. Boleh
jadi tak ada seorangpun yang tahu Anda memiliki luka cukup parah di balik
pakaian, sebab Anda begitu pandai menyembunyikannya. Bagaimana jika jerawat di
wajah belum hilang? Atau justru terus bertambah? Mungkin kita akan sengaja
melupakan luka di punggung meski terus membesar.
Kemudian bagaimana pula jika noda, luka, atau masalahnya
bukan di tubuh bagian luar? Bukan di tempat yang masih bisa terlihat kasat
mata? Luka yang hanya bisa dirasa namun tidak bisa diraba. Noda yang hanya bisa
disadari dengan mata hati, yang selalu bertambah setiap kali diri ini melakukan
pelanggaran terhadap nilai-nilai kebenaran? Setiap kali berlaku menyimpang saat
tak seorang pun melihatnya?
***
Kita akan sering menemukan orang yang nampak tak memiliki
masalah, meski sebenarnya ia tengah terlibat banyak masalah. Di sekitar kita
akan nampak orang-orang yang begitu bersih penampilan luarnya, namun tak peduli
pada kotoran di hatinya. Dan sebaliknya, teramat sering mengacuhkan orang yang
tampak luar tak lebih baik, walaupun yang tertanam di dalam dadanya jauh lebih
indah.
Sebagian kita cenderung peduli pada penampilan luar yang
sebenarnya tak selalu mencerminkan kondisi diri seutuhnya. Kita senang membeli
pakaian bagus untuk menutupi tubuh, namun terlupa membenahi bagian dalam tubuh.
Kita senang memoles wajah dengan kosmetik, tetapi alpa memoles hati dengan
memperbanyak dzikir, lupa mengasah perilaku dengan beragam kebajikan.
Sesal Di Sana Tiada Berguna
Seorang murid duduk menyendiri, terpisah dari teman-temannya
yang tertawa riang bercanda. Ia tetap di sana
hingga seorang guru datang dan bertanya, mengapa bersedih, bukankah ia dan
teman-temannya lulus semua? Pertanyaan serupa yang juga kuajukan pada putriku
saat ia bercerita malam itu.
Adalah nilai ujian
yang tidak sesuai harapan, jauh di bawah standar untuk bisa masuk ke sekolah
favorit yang membuat sang murid memisahkan diri dari teman sekelasnya. Sesal
mendalam yang kini dirasa. Bukan salah sang guru bila pernah mengatakan bahwa
seluruh siswa sekolah dasar dijamin lulus karena keputusan kelulusan diserahkan
kepada masing-masing sekolah. Ini salah dirinya, mengapa menanggapi ini dengan
belajar sekedarnya, tak perlu bersungguh-sungguh, toh sudah dijamin lulus juga.
Sesal yang jauh lebih
besar dan mendalam juga akan kita rasakan bila keliru memahami bahwa setiap
yang mengucap dua kalimat syahadat, menyakini tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad sebagai rasul Nya, maka ia dijamin masuk surga. Tidak ada sedikitpun
keraguan pada jaminan ini, tapi apakah kelak kita langsung masuk surga atau
singgah dulu di neraka, ini yang harus kita upayakan selama hidup di dunia.
Seperti yang terjadi
pada kisah diatas, seorang murid tidak bisa masuk ke sekolah favorit karena
nilai ujiannya tak memenuhi standar yang ditetapkan akibat dari ia tak
sungguh-sungguh belajar, maka tak cukup pula kita mengucap dua kalimat syahadat
lalu mengabaikan seluruh kewajiban yang menyertainya. Sang murid memang
dinyatakan lulus, itu artinya ia bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan
selanjutnya, tapi nilai ujian yang didapatnya tak memungkinkan ia masuk ke
sekolah yang menjadi pilihannya. Begitupun kita, selama iman masih melekat
hingga ajal tiba, maka surga jaminannya. Namun bila nilai ibadah yang kita
punya tak mencukupi, tidak bisa langsung masuk ke surga kecuali singgah dulu di
neraka. Berapapun lamanya, harus diingat bahwa sebentar di sana sama dengan bertahun-tahun lama waktu di
dunia. Astaghfirulloh!
Wahai diri,
,b>imani yang enam, laksanakan yang lima.Tidak cukup dengan mengatakan
beriman, tapi harus diikuti dengan perbuatan. Menjalankan segala perintahNya,
menjauhi segala laranganNya dan meneladani yang dicontohkan rasulNya adalah
satu kewajiban.
Jika sang murid tak
bisa lagi mengulang ujiannya, maka kitapun tak bisa minta dikembalikan ke dunia
agar bisa beribadah sebaik dan sebanyak-banyaknya. Selagi masih ada kesempatan
di dunia, benahi sekarang, jangan sampai menyesal di akhirat, karena sesal di sana tiada berguna.