Hari ini ada satu pelajaran berharga yang kudapatkan, saat
kawanku mengajakku untuk menjenguk pasiennya di kawasan Mesra Agung Ketapang
Banda Aceh. Kawanku itu berprofesi sebagai tim medis atau boleh dibilang
sebagai mantri keliling. Jam 16:30, dengan menggunakan sepeda motor, kami
berangkat dari pasar Atjeh menuju Ketapang. Kurang lebih 10 menit perjalanan,
kami tiba di rumah tujuan.
Rumah dengan dua lantai, dicat dengan warna orange tua.
Melihat rumah besar dan sepi, aku bertanya kepada kawanku, apakah rumah ini
kosong. Kawanku bilang bahwa pasiennya hanya tinggal berdua dengan isteri
mudanya. Untuk memastikan ada orang di dalam, kawanku segera menelpon, aku
mendengar ia menyebutnya dengan pakde. Tidak lama aku melihat seorang bapak tua
dengan berjalan tertatih-tatih membuka pintu, kami dipersilahkannya masuk.
Pakde ini adalah orang Simeulue, ia sudah lama tinggal di
Banda Aceh, dulunya ia bekerja sebagai seorang perawat di salah satu Puskesmas
dalam wilayah Aceh Besar. Umurnya kira-kira sudah 70 tahun, ia mengalami
stroke, dan sekarang sudah sembuh meski tangannya masih tertatih-tatih saat
berjalan.
Kawanku itu benar-benar akrab dengan pakde, tidak terlihat
hubungan antara mantri dan pasien, tetapi terkesan hubungan antara sang ayah
dan anak. Pakde memanggil isterinya di dapur untuk membuatkan minum untuk kami.
Kawanku berbicara dengan pakde, menanyakan tentang perkembangan kesehatan pakde
selama dua hari yang lalu. Pakde juga sempat bertanya kepadaku, beliau tanya
aku dari mana dan bekerja di mana.
Istri pakde yang disapa bukde datang membawa dua gelas minuman
syrup dan kue. Kawanku segera mengambil alat untuk memeriksa kadar gula darah
pakde, segera saja ia menjalankan tugasnya. Hasilnya kini gula darah pakde
menunjukkan angka 406, menurutnya ini meningkat dibandingkan dua hari lalu yang
hanya berkisar 200-san. Setelah selesai memeriksa gula darah, kini ia memeriksa
gejala asam urat pakde. Kulihat angka 15 yang tertera pada alat yang
digunakannya, akupun tidak tahu maksud dari angka itu. Menurutnya, angka 15
menunjukkan bahwa sekarang pakde mengalami gejala asam urat.
Sambil minum, pakde mulai bercerita, tadi pagi pakde
ditelpon oleh anaknya yang tinggal di Calang. Saat menelpon, anaknya itu
mengeluhkan bahwa dirinya tidak ada uang. Kesedihan terlihat dalam raut wajah
pakde. Ia berkeluh kesah mengapa anaknya mengeluh tidak punya uang, padahal
meski pakde sakit, ia tidak pernah meminta untuk dikirimkan uang. Lebih
herannya, menurut pakde, bahwa anaknya itu tidak pernah menelpon dirinya, tapi
tadi pagi entah mengapa anaknya itu menelpon dirinya. Pakde membandingkan bahwa
temanku lebih sering menelpon dirinya ketimbang anak-anaknya. Dan temanku
segera datang jika ia dipanggil. Aku yang asyik mendengar cerita pakde hanya
diam seribu bahasa, sebenarnya akupun merasa sedih mendengar cerita pakde, aku
turut prihatin atas kondisi pakde sekarang ini.
Menurut pengakuan bukde, pakde hari ini semenjak ditelpon
anaknya, terus saja berpikiran, bahkan hari ini pakde tidak berhenti
mengeluhkan perihal anaknya itu, sehingga gula darah pakde naik hingga menembus
angka 400-san.
Setelah semuanya selesai, kami berpamitan pulang. Dalam
perjalanan pulang, kawanku bercerita panjang lebar tentang kondisi pakde.
Sebenarnya pakde punya anak yang telah sukses, namun anak-anaknya itu terkesan
kurang memperhatikan pakde, meski pakde mengalami stroke. Banyak keponakan
pakde yang datang ke rumah untuk menjenguk pakde.
Sebenarnya aku sedih mengenang nasibku. Meski ayahku telah
lebih dahulu menghadap Ilahi, namun aku masih punya seorang ibu. Aku berharap
bahwa nasib ibuku tidak seperti yang dialami pakde. Tanpa terasa, sambil
bercerita dengan temanku, air mataku berderai. Aku berharap agar aku diberikan
kekuatan untuk dapat mengabdi kepada ibuku, menjadi anak yang dapat
membahagiakan hatinya. Amin.